Sabtu, 25 Januari 2014

Mau diapakan?

Jangankan kita yang masih remaja, usia SD, SMP atau SMA, yang lebih dewasa dibanding kita pun masih mengalami krisis identitas bagaimana meletakkan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dsbgnya itu. Bahkan, dalam kasus yg sangat ekstrem, usia 50, 60 tahun, galau dan labil sekali meletakkan posisi jejaring sosial itu seperti apa.

Maka, itu memang jadi pertanyaan menarik, mau kita apakan akun jejaring sosial kita? Jawabannya banyak. Ada yang bilang: terserah masing2. Kita hidup di jaman kebebasan, mau ngapain juga terserah. Dan memang silahkan saja, nggak ada yang melarang. Saya menulis catatan ini hanya bagi yang mau memikirkannya saja.

Mau kita apakan akun jejaring sosial kita? Saya akan berikan saja kaki2 penjelasan, yang dari itu semoga kalian bisa menjawab pertanyaan penting tersebut. Mau diapakan jejaring sosial ini? Tidak perlu sependapat dgn saya, semua orang berhak mempunyai argumen masing2, dan akan sangat bermanfaat jika dituliskan sendiri di rumah masing2.

Here we go,

Yang pertama, menurut hemat saya, akun jejaring sosial itu tidak berbeda secara substantif dengan dunia nyata sebagai sarana bersosialisasi. Kita bisa berkenalan, bersilaturahmi, bisa bergaul dengan siapapun di dunia maya. Pun sama, di dunia nyata juga begitu. Kita bisa mengenal tetangga sebelah, teman sekolah, teman satu RT, teman sekantor, teman satu bus/kereta dsbgnya. Nah, sayangnya, banyak orang yang lupa, bukankah kalau di dunia nyata, kita pasti sebal sekali ketika ada teman satu sekolah dengan lebaynya tiba2 bilang di kelas, "eh, kemarin gue barusan dari Paris loh. lihat fotonya. habis itu dari Singapore loh. juga mampir ke bangkok, ini fotonya." Atau tiba-tiba ada teman sekelas yang berseru ke kita, "Gue benci banget sama hidup ini. Frustasi menyebalkan." atau tiba-tiba ada yang nyeletuk, "Ya Tuhan, tolong jadikan dia milikku, please, please." Atau lagi di pasar rame, tiba2 ada yang berdoa dengan lantang, "ya Allah, semoga aku punya rumah bagus. please aminkan dong." Saya jamin, pasti di kelas atau di pasar itu pada bengong, ini anak lagi kenapa ya?

Di dunia nyata, orang2 dengan segera bisa paham potensi lebay, narsis, ngeksis ini. Dan segera bengong jika ada orang di sekitar melakukannya. Tapi kenapa ketika masuk ke dunia maya, orang2 merasa wajar bertingkah 10x lebih lebay, narsis dan ngeksis? Tidakkah situasinya sama persis? Atau di dunia maya, orang2 merasa lebih nyaman melakukannya karena orang di sekitar tidak akan segera menatap bingung, lantas berseru, "Ini anak lagi kenapa?"

Yang kedua, menurut hemat saya akun jejaring sosial itu bukan tempat kita bisa bebas meletakkan segala hal. Keliru sekali kalau orang2 merasa jejaring sosial adalah teman baiknya saat sedang galau, sakit hati, dsbgnya. Juga tempat 'beribadah'-nya. Tempat apapun yang hendak dia tumpahkan. Ketahuilah, apapun yang kita tulis di jejaring sosial maka dia tersimpan rapi disana--bahkan meski sudah kita remove total, dia tetap tersimpan (kalau ada yang ternyata menyimpannya lebih dulu dgn tujuan apapun). Kalian mungkin tidak percaya, tapi sudah banyak sekali bagian SDM / HR perusahaan ketika melakukan rekrutmen mereka melakukan cek, verifikasi akun2 jejaring sosial kandidat karyawannya. Juga untuk keperluan lain, menelusuri profile jejaring sosial orang lain bisa jadi cara efektif untuk melakukan penilaian. Kalau ada yang punya anak gadis, lantas dia dilamar oleh orang, boleh jadi cek profile jejaring sosial orang yang melamarnya bisa jadi petunjuk.

Memang benar, jejaring sosial ini hanya main2 saja, seru2an, tapi bukan berarti menumpahkan keluh kesah, galau, sakit hati, doa, foto, pamer dsbgnya termasuk definisi main2. Silahkan lakukan, manusiawi, tapi ada batas2nya. Status2 berlebihan amat mengundang kejahatan dunia maya. Bertumpuk kasusnya, yang terlihat di koran2, media massa, itu hanya puncak kecilnya, sedangkan yang tersimpan rapat (karena korbannya malu mengaku) banyak sekali. Remaja kita yg memilih tutup mulut setelah jadi korban kejahatan.Ketahuilah, dari 40 juta lebih akun facebook misalnya, data resmi merilis ada 8%, atau lebih dari 3 juta akun palsu dengan tujuan tertentu termasuk tujuan penipuan, kejahatan. Bayangkan, ada 3 juta akun sejenis ini berkeliaran. Korban paling empuknya adalah: wanita.

Yang ketiga, kehidupan itu ada di dunia nyata. Bukan di sini. Seseorang yang punya foto profile ganteng, mulus, keren, maka tetap saja yang dilihat orang di dunia nyatanya bukan? Seseorang yang cantik sekali, terlihat baik hati, menawan, rajin menabung dan cuci tangan sebelum tidur di dunia maya, maka tetap saja yang dilihat dunia nyatanya? Pun sama, ketika orang terlihat bijak sekali di dunia maya, maka yang dilihat adalah dunia nyatanya. Status, update yg dia tulis tidak serta merta membalik kenyataan sebenarnya.

Maka, kalaupun kita eksis dan narsis, orang2 tetap melihat apakah sekolah kita lancar? Nilai bagus? Pekerjaan kita beres, karir menanjak? Kalaupun kita terlihat care nan perhatian dengan anak2, maka yang dilihat bagaimana dengan anak2 kita? Jangan2, kita asyik update status, eh, anak kita malah sedang jatuh lari2an di sekitar kita, tidak sempat kita perhatikan. Kehidupan itu ada di dunia nyata. Di jejaring sosial kita terlihat bahagia, punya foto di luar negeri, di mana2, kayaknya keren sekali, maka apakah kita bahagia atau tidak adalah di dunia nyata. Karena kehidupan itu ada di dunia nyata--bukan di jejaring sosial. Jadi, kalau kita remaja, merasa eksis dan gaul sekali di jejaring sosial, tetap saja yang paling penting dunia nyata. Dunia maya ini bukan pelarian. 

Kita semua harus konsen sekali soal jejaring sosial ini, karena dampak jejaring sosial lebih serius dibanding ketika televisi dulu ditemukan. Jaga anak2 kita yang masih remaja. Jelas kita tidak bisa melarang mereka main facebookan, dll, tapi berikan pemahaman yang baik. Tidak semua yang ada di jejaring sosial itu bermanfaat dan positif. Dalam level paling rendah dan segera terlihat, jika tidak pandai memanfaatkannya, remaja kita bisa terjebak dalam kesia2an. Dan dalam level lebih serius, semoga mereka tidak mengalami krisis identitas yang serius, serba meniru, serba menerima kebiasaan, lupa kalau kita selalu bisa memikirkan mana yang sebenarnya baik, mana yang sebenarnya adalah diri kita sendiri. Prinsip2 terbaik. Dan level lebih super serius lagi, semoga mereka tidak jadi korban kejahatan dunia maya yang semakin menggila--sadar atau tidak, tahu atau tidak.
Darwis Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar